KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim
Puji
syukur kwhadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatNYA sehingga makalah
tafsir ini dapat kami selesaikan. Tak lupa shalawat dan salam kepada baginda
Nabi Muhammad SAW.
Makalah
ayat-ayat tentang Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum hukum ditinjau dari
kajian ushul fiqh semoga dapat menambah pengetahuan kita semua.
Atas
perhatian Ustadz Khairul Anshori selaku dosen pembimbing dan saudara sekalian
kami ucapkan terima kasih.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
1. Al
Qur’an dan Hadist (sunnah) sebagai sumber hukum
Al-Qur’an merupakan sumber hukum dalam Islam.
Kata sumber dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an maupun
sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara’,
tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’ dan qiyas karena memang
keduanya merupakan wadah yang dapat dotimba norma hukum. Ijma’ dan qiyas juga
termasuk cara dalam menemukan hukum. Sedangkan dalil adalah bukti yang
melengkapi atau memberi petunjuk dalam Al-Qur’an untuk menemukan hukum Allah,
yaitu larangan atau perintah Allah.
Pada makalah ini kami ingin menguraikan atau menjelaskan sumber hukum Islam,
yang mana sudah kita ketahui sumber Islam yaitu Alquran dan Hadis. Walaupun
Alquran dan Hadis merupakan sumber dari segala sumber ajaran Islam, namun
ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber tersebut tidak dapat pula
dipahami dengan baik, apabila tidak adanya ijtihad para pakar di bidang ini
untuk mengemukakan maksud dari ajaran-ajaran yang terdapat dalam Alquran dan
Hadis. Hal
ini dipandang penting agar para penstudi dan masyarakat muslim tidak salah memahami Alquran dan hadist
atau sunnah. Oleh karena kita pun
harus mengetahui dan mengenal sumber hukum Islam
ini.
B.
Rumusan Masalah
Adapun
pembahasan makalah Ushul fiqih adalah sabagai berikut:
1. Pengertian
Al-Qur;an sebagai sumber hukum
2. Kemu’jizatan
Al-Qur’an
3. Al-Qur’an
sebagai sumber hukum menurut imam mahdzab
4. Penjelasan
Al-Qur’an terhadap hukum dan Al-Qur’an sebagai sumber hukum
5. Pengertian
Sunnah
6. Kehujjahan
Sunnah
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Al-Qur’an sebagai sumber hukum
A.
Pengertian
Al-Qur’an
adalah kitab yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Ayat yang pertama kali
turun adalah :
Artinya : Bacalah dengan nama
Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah
yang paling pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantara kalam. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S Al Alaq: 1-5)
Dia
mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. Al Qur’an turun secara berangsur-angsur
selama 23 tahun, yaitu masa dimana kerisalahan nabi Muhammad berlangsung.
Adapun difinisi alqur’an secara istilah menurut
sebagian ulamak ushul fiqih adalah:
كلام الله تعالى
المنزل على محمد صلى الله عليه وسلم باللفظ العربي المنقول الينا بالتواترالمكتوب
بالمصاحف المتعبدبتلاوته المبدوء بالفاتحة والمختوم بسورة الناس
Artinya:
“Kalam
Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri
dengan surat an-Naas.
Dari devinisi tersebut, para ulama menafsirkan
Al Qur’an dengan beberapa variasi pendapat yang dapat kami simpulkan menurut
beberapa ulama Ushul Fiqh :[1][1]
1.
Al-Qur’an merupakan kalam allah yang
diturunkan kepada Nabi Muahmmad SAW. dengan demikian, apabila tidak diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan dengan Al-Qur’an. Seperti diantaranya
wahyu yang Allah
turunkan kepada Nabi Ibrahim (zabur) Ismail
(taurat) Isa (injil). Memang hal tersebut diatas memang kalamullah, tetapi dikarebakan
diturunkan bukan kepada nabi Muhammad saw, maka tidak dapat disebut alqur’an.
2.
Bahasa
Al-Qur’an adalah bahasa arab qurasiy. Seperti ditunjukan dalam beberapa ayat
Al-Qur’an, antara lain : QS. As-Syuara : 192-195, Yusuf : 2 AZzumar : 28 An- NAhl
103 dan ibrahim : 4 maka para ulama sepakat bahwa penafsiran dan terjemahan
Alqur’an tidak dinamakan Alquran serta tidak bernilai ibadah membacanya. Dan
tidak Sah Shalat dengan hanya membaca tafsir atau terjemahan alquran, sekalipun
ulma’ hanafi membolehkan Shalat dengan bahasa farsi (Selain Arab), tetapi
kebolehan ini hanya bersifat rukhsoh (keringanan hukum).
3.
Al-Quran
dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawattir tanpa
perubahan dan penggantian satu kata pun (Al-Bukhori : 24)
4.
Membaca
setiap kata dalam alquran mendapatkan pahala dari Allah baik berasal dari
bacaan sendiri (Hafalan) maupun dibaca langsung dari mushaf alquran.
5.
Al-Qur’an
dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, tata urutan
surat yag terdapat dalam Al-Qur’an, disusun sesuai dengan petunjuk Allah
melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. tidak boleh diubah dan
digamti letaknya. Dengan demikian doa doa, yang biasanya ditambahkan di
akhirnya dengan Al-Qur’an dan itu tidak termasuk katagori Al-Qur’an.
B.
Kemu’jizatan
Al-Qur’an
Orang-orang
musyrik mengetahui adanya pengaruh yang kuat di dalam jiwa orang-orang yang
mendengengarkan, merasakan dan mengkaji bunyi Al-Qur’an. Oleh karena itu mereka
yang ingkar dan bersikeras mengikuti hawa nafsunya merasa khawatir akan
terpengaruh. Akhirnya merekapun saling menganjurkan agar tidak mendengarkan
Al-Qur’an lagi. Allah SWT berfirman
Artinya
: “dan orang-orang kafir berkata: janganlah kamu jangnlah mendengar
sungguh-sungguh etntang Al-Qur’an ini dan hiruk pikuk terhadapnya, supaya kamu
dapat mengalahkan” (Q.S fushilat : 26)
Dengan
demikian jelaslah bahwa kemu’jizatan Al-Qur’an terletak pada at itu sendiri,
bukan kerena sesuatu diluarnya.
C. Al-Qur’an
sebagai Sumber Hukum Menurut Imam
Madzhab
·
Pandangan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama’ bahwa
Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam. Akan tetapi Imam Abu Hanifah itu
berpendapat bahwa Al-Quran itu mencakup maknanya saja. Diantara dalil yang
menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah tersebut, bahwa dia membolehkan shalat
dengan menggunakan bahasa selain arab, misalnya: Dengan bahasa Parsi walaupun
tidak dalam keadaan Madharat. Padahal menurut Imam Syafi’i sekalipun
seseorang itu bodoh tidak di bolehkan membaca Al-Qur’an dengan menggunakan
bahasa selain Arab.
·
Pendapat Imam Syafi’i
Imam
Syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam yang paling
pokok, dan beranggapan bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari As-Sunnah
karena hubungan antara keduanya sangat erat sekali, Dalam artian tidak dapat di
pisahkan. Sehingga seakan akan beliau menganggap keduanya berada pada satu
martabat, namun bukan berarti Imam Syafi’i menyamakan derajat Al-Qur’an dengan
Sunnah, Perlu di pahami bahwa kedudukan As-Sunnah itu adalah sumber hukum
setelah Al-Qur’an, yang mana keduanya ini sama-sama berasal dari Allah SWT.
Dengan demikian tak heran bila Imam Syafi’i dalam
berbagai pendapatnya sangat mementingkan penggunaan Bahasa Arab, misalkan dalam
Shalat, Nikah dan ibadah-ibadah lainnya. Beliau mengharuskan peguasaan bahasa
Arab bagi mereka yang mau memahami dan mengistinbat hukum dari Al-Qur’an, kami
ulangi kembali bahwa
pendapat
Imam Syafi’i ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang menyatakan
bahwa
bolehnya shalat dengan menggunakan bahasa selain Arab. Misalnya dengan bahasa
persi walaupun tidak dalam, keadaan Madharat.
D. Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum Dan Alqur’an
Sebagai Sumber Hukum.
1.
Ayat-ayat
yang menjelaskan Hukum diantaranya:
Uraian al-Qur’an tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam
surat al-Baqarah: 183, 184, 185 dan 187. Ini berarti bahwa puasa ramadhan baru
diwajibkan setelah Nabi SAW tiba di Madinah, karena ulama Al-Qur’an sepakat
bahwa Surat al-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa
kewajiban melaksanakan puasa ramadhan ditetapkan Allah SWT pada 10 Sya’ban
tahun kedua Hijriyah.
Allah
swt berfirman:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183).
Ayat ini yang menjadi dasar hukum diwajibkannya berpuasa
bagi orang-orang yang beriman.
2.
Ayat-ayat
al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan Shalat:
firman
Allah SWT
Artinya:
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang
yang beriman. (QS. An Nisa’:103).
Artinya:
sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka
sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thahaa: 14).
Artinya:
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al-kitab (Al Quran) dan
dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan
mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.(QS. Al-Ankabut: 45)
BAB III
HADIST SEBAGAI SUMBER HUKUM
2.
Hadist atau sunnah sebagai sumber
hukum
A. Pengertian
Sunnah Nabi ialah : Ucapan,
perbuatan serta ketetapan-ketetapan Nabi SAW. Dengan demikian sunnah dilihat
dari segi materi dan esensinya terbagi menjadi 3 amcam:
a. Sunnah qauliyah (ucapan)
b. Sunnah fi’liyah (perbuatan)
c. Sunnah taqririyah (ketetapan)
Contoh sunnah qauliyah ini yang trbanyak seperti sabda nabi
SAW:
Artinya: berpuasalah karna melihat
tanggal (satu Ramadan) dan berbukalah kerena melihat tanggal (satu syawal)
Sunah fi’liyah seperti prakek sholat dan haji
Sabda Rasulullah SAW :
Artinya : lakukanlah sholat sebagaimana kalian melihatku
mengerjakan sholat.
Sunnah fi’liyah ialah semisal nabi
melihat suatu perbuatan atau mendengar satu ucapan atau mendengar satu ucapan lalu nabi SAW mengakui atau
membenarkannya.
Sunnah berfungsi sebagai penopang
dan penyempurna Al-Qur’an. Karena itu Imam SYAFI’I dalam menerangkan Al-Qur’an
dan sunnah tidak menguraikan secara terpisah. Keduanya saling saling menopang
secara sempurna dalam menjelaskan syari’ah.
Adanya nash-nash Al-qur’an yang
memerintahkan agar patuh dan tunduk kepada nabi. Firman Allah SWT :
Artinya : Barang siapa yang mentaati
rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. (Q.S An-nisa : 80)
B.
Kehujjahan Al-Sunnah Dari al-Qur’ân
Dalam menggunakan al-sunnah sebagai sumber
hukum utama setelah al-Qur’ân didukung oleh banyaknya ayat-ayat al-Qur’ân yang
menyuruh kita taat kepada Rasulullah
SAW. Berikut beberapa
ayat yang berisi tentang kehujjahan al-sunnah:
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata”.
Maksud ayat ini adalah kita hendaknya
selalu mengikuti pada perintah Allah dan rasul-Nya, dan mengikuti al-sunnah
Rasulullah SAW sebagai sebuah kewajiban, karena beliaulah yang diberi wahyu
al-Qur’ân, hikmah dan kerasulullahan dan kita tidak diperbolehkan untuk
menentang dan mengingkari keberadaan al-sunnah (yang mutawâtir dan ahâd). [1]
C. Pembagian Al-Sunnah Ditinjau Dari
Hubungannya Dengan Al-Qur’an
1.
Al-sunnah al-Muakkadah, yakni al-sunnah yang mempunyai kesesuaian
dengan al-Qur’ân dari semua segi, seperti adanya kewajiban shalat merupakan
ketetapan hukum wajib yang didasarkan pada al-Qur’ân dan al-sunnah. [2]
2. Al-sunnah
al-Mubayyanah, yakni al-sunnah yang berfungsi menafsirkan ayat al-Qur’ân
yang masih bersifat global dari segi lafazh dan maknanya. Menurut imam Syafi’i:
“ayat dari al-Qur’ân ini
secara global menjelaskan adanya hukum-hukum yang berlaku bagi manusia, tetapi
al-sunnah disini berfungsi sebagai penjelas tata cara dan konsekwensi hukum,
seperti jumlah hitungan dalam shalat, zakat dan pelaksanaan waktu
mengerjakannya dan juga konsekwensi hukum bagi yang taat dan yang tidak
mentaati hukum tersebut”. [3]
3.
Al-sunnah
al-Istiqlâliyyah, yakni
al-sunnah yang berfunsi sebagai penambah terhadap hukum yang ada dalam
al-Qur’ân. Maksudnya adalah hukum tersebut ditambah oleh al-sunnah tatkala di
dalam al-Qur’ân tidak ditemukan jawaban hukum atas sebuah permasalahan baik
berupa kewajiban, keharaman seperti hukum warisan bagi nenek, hukum syuf’ah (hukum
membeli lebih dahulu.
D.
Pengambilan
Hukum Dari Al-Qur’an Dan Sunnah
Setiap
istinbath (pengambilan hukum)dalam syariat islam harus berpihak atas Al-Qur’an
dan sunnah Nabi. Ini berarti dalil-dalil syara’ ada dua macam, yaitu nash dan
ghairun nash (bukan nash). Dalil-dalil ini yang tidak termasuk dalam kategori
nash seperti qiyas dan istihsan, pada hakekatnya digali, bersumber dan
berpedoman pada nash.
Cara
pengambilan hokum dari nash ada dua mcam pendekatan yaitu : pendekatan makna
(thuruq ma’nawiyah) dan pendekatan lafadz(thuruq lafzhiyyah). Pendekatan makna
ialah penarikan kesimpulan hokum bukan kepada nash langsungseperti menggunakan
qiyas, isthisan, mashalih dan mushalah, dzara’I dan lain sebagainya.
1.
Pembahasan
lafadz nash
Para
ulama ushul bekerja keras membuat kaedah-kaedah yang dapat digunakan untuk
memahami nash-nash dan menggali hokum-hukum takfily dri nash-nash itu. Dlam
membuat kaedah-kaedah tersebut mereka berpedoman kepada dua hal sebagai berikut
:
1. Al
Madlulat al lughawiyat (pengertian dan konotasi kebahasaan) dan al fahmu al
Araby (pemahaman yang didasarkan pada cita rasa bahasa arab)
2. Pedoman
dan metode yang dipakai Nabi Muhammad dalam menjelaskan hukum-hukum Al QUR’AN,
dan himpunan hukum-hukum nash yang telah
mendapatkan penjelasan dan sunnah.
Secara
umum apabila kaedah-kaedah itu diikuti oleh seorang ahli fiqh, maka ia akan
terhindar dari kesalahan dalam istinbath hokum.dengan kedah-kaedah itu pula ia
akan mampu menangkaptujuan-tujuan syari’ah yang dipandang sebagai sumber pokok
(ashl) yang pertama dan utama.
Kaedah-kaedah
bahasa (lughawy) itu mengacu pada empat segi yaitu:
1. Kepada
lafadz- lafadz nash dari segi kekuatan dan kejelasan dalalah-nya terhadap
pengertian yang dimaksud.
2. Segi
ungkapan dan konotasinya, apakah menggunakan ibarat yang sharih (ungkapan
jelas) atau isyarat yang mengandung makna yang tersirat; dan apakah memakai
Ataukah (mahfum).
3. Segi
cakupan lafadz dan sasaran dalalahnya, berupa lafadz umum atau khusus, dan
lafadz muqayyad atau mutlaq.
4. Dari
segi bentuk tuntutan(shighat taklif) nya.
Dari segi itu harus
dikuasai oleh seorang ahli fiqh agar dapat melakukan istinbat hukum dan
terhindar dari kekeliruan.
DAFTAR
PUSTAKA
Zahrah, Muhammad Abu.
Prof, ushul al fiqih Cairo 19958
[1] Muhammad Bin Ahmad Abu
Abdullah al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân (Beirut: Dâr Ihya’
at-Turâts, tt.), Juz XIV, hlm., 187.
[2] Muhammad bin Abi Bakar Abu
Abdullah ibn al-Qayyim al-Jauziyah, I’lâm al-Muwaqi’în (Beirut: Maktabah
al-’Ashriyyah, 1470), Juz II hlm., 307.
dalam pembahasan ini masih banyak yang belum jelas menurut saya ,,karna belum ada dalil2nya serta ayat yang di tuluis dari penulis tentag usul fiqh nya,,tolong informasinya lagi biar lebih jelas
BalasHapusdalam pembahasan ini masih banyak yang belum jelas menurut saya ,,karna belum ada dalil2nya serta ayat yang di tuluis dari penulis tentag usul fiqh nya,,tolong informasinya lagi biar lebih jelas
BalasHapus