Senin, 23 Desember 2013

makalah ushul fiqih Al qur'an dan Hadist sebagai hukum islam



KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim
Puji syukur kwhadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatNYA sehingga makalah tafsir ini dapat kami selesaikan. Tak lupa shalawat dan salam kepada baginda Nabi Muhammad SAW.
Makalah ayat-ayat tentang Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum hukum ditinjau dari kajian ushul fiqh semoga dapat menambah pengetahuan kita semua.
Atas perhatian Ustadz Khairul Anshori selaku dosen pembimbing dan saudara sekalian kami ucapkan terima kasih.







Penyusun










BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
1.      Al Qur’an dan Hadist (sunnah) sebagai sumber hukum
Al-Qur’an merupakan sumber hukum dalam Islam. Kata sumber dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an maupun sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara’, tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’ dan qiyas karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat dotimba norma hukum. Ijma’ dan qiyas juga termasuk cara dalam menemukan hukum. Sedangkan dalil adalah bukti yang melengkapi atau memberi petunjuk dalam Al-Qur’an untuk menemukan hukum Allah, yaitu larangan atau perintah Allah.
Pada makalah ini kami ingin menguraikan atau menjelaskan sumber hukum Islam, yang mana sudah kita ketahui sumber Islam yaitu Alquran dan Hadis. Walaupun Alquran dan Hadis merupakan sumber dari segala sumber ajaran Islam, namun ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber tersebut tidak dapat pula dipahami dengan baik, apabila tidak adanya ijtihad para pakar di bidang ini untuk mengemukakan maksud dari ajaran-ajaran yang terdapat dalam Alquran dan Hadis. Hal ini dipandang penting agar para penstudi dan masyarakat muslim tidak salah memahami Alquran dan hadist atau sunnah. Oleh karena kita pun harus mengetahui dan mengenal sumber hukum Islam ini
B.        Rumusan Masalah

Adapun pembahasan makalah Ushul fiqih adalah sabagai berikut:
1.      Pengertian Al-Qur;an sebagai sumber hukum
2.      Kemu’jizatan Al-Qur’an
3.      Al-Qur’an sebagai sumber hukum menurut imam mahdzab
4.      Penjelasan Al-Qur’an terhadap hukum dan Al-Qur’an sebagai sumber hukum
5.      Pengertian Sunnah
6.      Kehujjahan Sunnah






BAB II
PEMBAHASAN

1.      Al-Qur’an sebagai sumber hukum
A.    Pengertian
Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Ayat yang pertama kali turun adalah :
Artinya : Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S Al Alaq: 1-5)
Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. Al Qur’an turun secara berangsur-angsur selama 23 tahun, yaitu masa dimana kerisalahan nabi Muhammad berlangsung.
Adapun  difinisi alqur’an secara istilah menurut sebagian ulamak ushul fiqih adalah:
كلام الله تعالى المنزل على محمد صلى الله عليه وسلم باللفظ العربي المنقول الينا بالتواترالمكتوب بالمصاحف المتعبدبتلاوته المبدوء بالفاتحة والمختوم بسورة الناس
Artinya:
 “Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.
 Dari devinisi tersebut, para ulama menafsirkan Al Qur’an dengan beberapa variasi pendapat yang dapat kami simpulkan menurut beberapa ulama Ushul Fiqh :[1][1]
1.      Al-Qur’an merupakan kalam allah yang diturunkan kepada Nabi Muahmmad SAW. dengan demikian, apabila tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan dengan Al-Qur’an. Seperti diantaranya wahyu yang Allah

turunkan kepada Nabi Ibrahim (zabur) Ismail (taurat) Isa (injil). Memang hal tersebut diatas memang kalamullah, tetapi dikarebakan diturunkan bukan kepada nabi Muhammad saw, maka tidak dapat disebut alqur’an.

2.    Bahasa Al-Qur’an adalah bahasa arab qurasiy. Seperti ditunjukan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain : QS. As-Syuara : 192-195, Yusuf : 2 AZzumar : 28 An- NAhl 103 dan ibrahim : 4 maka para ulama sepakat bahwa penafsiran dan terjemahan Alqur’an tidak dinamakan Alquran serta tidak bernilai ibadah membacanya. Dan tidak Sah Shalat dengan hanya membaca tafsir atau terjemahan alquran, sekalipun ulma’ hanafi membolehkan Shalat dengan bahasa farsi (Selain Arab), tetapi kebolehan ini hanya bersifat rukhsoh (keringanan hukum).
3.    Al-Quran dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawattir tanpa perubahan dan penggantian satu kata pun (Al-Bukhori : 24)
4.    Membaca setiap kata dalam alquran mendapatkan pahala dari Allah baik berasal dari bacaan sendiri (Hafalan) maupun dibaca langsung dari mushaf alquran.
5.    Al-Qur’an dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, tata urutan surat yag terdapat dalam Al-Qur’an, disusun sesuai dengan petunjuk Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. tidak boleh diubah dan digamti letaknya. Dengan demikian doa doa, yang biasanya ditambahkan di akhirnya dengan Al-Qur’an dan itu tidak termasuk katagori Al-Qur’an.

B.     Kemu’jizatan Al-Qur’an
Orang-orang musyrik mengetahui adanya pengaruh yang kuat di dalam jiwa orang-orang yang mendengengarkan, merasakan dan mengkaji bunyi Al-Qur’an. Oleh karena itu mereka yang ingkar dan bersikeras mengikuti hawa nafsunya merasa khawatir akan terpengaruh. Akhirnya merekapun saling menganjurkan agar tidak mendengarkan Al-Qur’an lagi. Allah SWT berfirman
Artinya : “dan orang-orang kafir berkata: janganlah kamu jangnlah mendengar sungguh-sungguh etntang Al-Qur’an ini dan hiruk pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan” (Q.S fushilat : 26)
Dengan demikian jelaslah bahwa kemu’jizatan Al-Qur’an terletak pada at itu sendiri, bukan kerena sesuatu diluarnya.
C.     Al-Qur’an sebagai Sumber  Hukum Menurut Imam Madzhab
·                     Pandangan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama’ bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam. Akan tetapi Imam Abu Hanifah itu berpendapat bahwa Al-Quran itu mencakup maknanya saja. Diantara dalil yang menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah tersebut, bahwa dia membolehkan shalat dengan menggunakan bahasa selain arab, misalnya: Dengan bahasa Parsi walaupun tidak dalam keadaan Madharat. Padahal menurut Imam Syafi’i sekalipun seseorang itu bodoh tidak di bolehkan membaca Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa selain Arab.
·                       Pendapat Imam Syafi’i
Imam Syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam yang paling pokok, dan beranggapan bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari As-Sunnah karena hubungan antara keduanya sangat erat sekali, Dalam artian tidak dapat di pisahkan. Sehingga seakan akan beliau menganggap keduanya berada pada satu martabat, namun bukan berarti Imam Syafi’i menyamakan derajat Al-Qur’an dengan Sunnah, Perlu di pahami bahwa kedudukan As-Sunnah itu adalah sumber hukum setelah Al-Qur’an, yang mana keduanya ini sama-sama berasal dari Allah SWT.
Dengan demikian tak heran bila Imam Syafi’i dalam berbagai pendapatnya sangat mementingkan penggunaan Bahasa Arab, misalkan dalam Shalat, Nikah dan ibadah-ibadah lainnya. Beliau mengharuskan peguasaan bahasa Arab bagi mereka yang mau memahami dan mengistinbat hukum dari Al-Qur’an, kami ulangi kembali bahwa
pendapat Imam Syafi’i ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang menyatakan
bahwa bolehnya shalat dengan menggunakan bahasa selain Arab. Misalnya dengan bahasa persi walaupun tidak dalam, keadaan Madharat.

D. Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum Dan Alqur’an Sebagai Sumber Hukum.
1.      Ayat-ayat yang menjelaskan  Hukum diantaranya:
Uraian al-Qur’an tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam surat al-Baqarah: 183, 184, 185 dan 187. Ini berarti bahwa puasa ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi SAW tiba di Madinah, karena ulama Al-Qur’an sepakat bahwa Surat al-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa ramadhan ditetapkan Allah SWT pada 10 Sya’ban tahun kedua Hijriyah.
Allah swt berfirman:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183).
Ayat ini yang menjadi dasar hukum diwajibkannya berpuasa bagi orang-orang yang beriman.
2.      Ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan Shalat:
firman Allah SWT
Artinya: Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa’:103).
Artinya: sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thahaa: 14).
Artinya: Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al-kitab (Al Quran) dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Ankabut: 45)

BAB III
HADIST SEBAGAI SUMBER HUKUM

2.      Hadist atau sunnah sebagai sumber hukum
A.    Pengertian
Sunnah Nabi ialah : Ucapan, perbuatan serta ketetapan-ketetapan Nabi SAW. Dengan demikian sunnah dilihat dari segi materi dan esensinya terbagi menjadi 3 amcam:
a.       Sunnah qauliyah (ucapan)
b.      Sunnah fi’liyah (perbuatan)
c.       Sunnah taqririyah (ketetapan)
Contoh sunnah qauliyah ini yang trbanyak seperti sabda nabi SAW:
Artinya: berpuasalah karna melihat tanggal (satu Ramadan) dan berbukalah kerena melihat tanggal (satu syawal)
Sunah fi’liyah seperti prakek sholat dan haji
Sabda Rasulullah SAW :
Artinya : lakukanlah sholat sebagaimana kalian melihatku mengerjakan sholat.
Sunnah fi’liyah ialah semisal nabi melihat suatu perbuatan atau mendengar satu ucapan atau mendengar  satu ucapan lalu nabi SAW mengakui atau membenarkannya.
Sunnah berfungsi sebagai penopang dan penyempurna Al-Qur’an. Karena itu Imam SYAFI’I dalam menerangkan Al-Qur’an dan sunnah tidak menguraikan secara terpisah. Keduanya saling saling menopang secara sempurna dalam menjelaskan syari’ah.
Adanya nash-nash Al-qur’an yang memerintahkan agar patuh dan tunduk kepada nabi. Firman Allah SWT :
Artinya : Barang siapa yang mentaati rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. (Q.S An-nisa : 80)
B.     Kehujjahan Al-Sunnah Dari al-Qur’ân
Dalam menggunakan al-sunnah sebagai sumber hukum utama setelah al-Qur’ân didukung oleh banyaknya ayat-ayat al-Qur’ân yang menyuruh kita taat kepada Rasulullah
            SAW. Berikut beberapa ayat yang berisi tentang kehujjahan al-sunnah:

Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata”.
Maksud ayat ini adalah kita hendaknya selalu mengikuti pada perintah Allah dan rasul-Nya, dan mengikuti al-sunnah Rasulullah SAW sebagai sebuah kewajiban, karena beliaulah yang diberi wahyu al-Qur’ân, hikmah dan kerasulullahan dan kita tidak diperbolehkan untuk menentang dan mengingkari keberadaan al-sunnah (yang mutawâtir dan ahâd). [1]
C.    Pembagian Al-Sunnah Ditinjau Dari Hubungannya Dengan Al-Qur’an

1.   Al-sunnah al-Muakkadah, yakni al-sunnah yang mempunyai kesesuaian dengan al-Qur’ân dari semua segi, seperti adanya kewajiban shalat merupakan ketetapan hukum wajib yang didasarkan pada al-Qur’ân dan al-sunnah. [2]
2.  Al-sunnah al-Mubayyanah, yakni al-sunnah yang berfungsi menafsirkan ayat al-Qur’ân yang masih bersifat global dari segi lafazh dan maknanya. Menurut imam Syafi’i: ayat dari al-Qur’ân ini secara global menjelaskan adanya hukum-hukum yang berlaku bagi manusia, tetapi al-sunnah disini berfungsi sebagai penjelas tata cara dan konsekwensi hukum, seperti jumlah hitungan dalam shalat, zakat dan pelaksanaan waktu mengerjakannya dan juga konsekwensi hukum bagi yang taat dan yang tidak mentaati hukum tersebut”. [3]

3.      Al-sunnah al-Istiqlâliyyah, yakni al-sunnah yang berfunsi sebagai penambah terhadap hukum yang ada dalam al-Qur’ân. Maksudnya adalah hukum tersebut ditambah oleh al-sunnah tatkala di dalam al-Qur’ân tidak ditemukan jawaban hukum atas sebuah permasalahan baik berupa kewajiban, keharaman seperti hukum warisan bagi nenek, hukum syuf’ah (hukum membeli lebih dahulu.

D.    Pengambilan Hukum Dari Al-Qur’an Dan Sunnah
Setiap istinbath (pengambilan hukum)dalam syariat islam harus berpihak atas Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Ini berarti dalil-dalil syara’ ada dua macam, yaitu nash dan ghairun nash (bukan nash). Dalil-dalil ini yang tidak termasuk dalam kategori nash seperti qiyas dan istihsan, pada hakekatnya digali, bersumber dan berpedoman pada nash.
Cara pengambilan hokum dari nash ada dua mcam pendekatan yaitu : pendekatan makna (thuruq ma’nawiyah) dan pendekatan lafadz(thuruq lafzhiyyah). Pendekatan makna ialah penarikan kesimpulan hokum bukan kepada nash langsungseperti menggunakan qiyas, isthisan, mashalih dan mushalah, dzara’I dan lain sebagainya.
1.      Pembahasan lafadz nash
Para ulama ushul bekerja keras membuat kaedah-kaedah yang dapat digunakan untuk memahami nash-nash dan menggali hokum-hukum takfily dri nash-nash itu. Dlam membuat kaedah-kaedah tersebut mereka berpedoman kepada dua hal sebagai berikut :
1.      Al Madlulat al lughawiyat (pengertian dan konotasi kebahasaan) dan al fahmu al Araby (pemahaman yang didasarkan pada cita rasa bahasa arab)
2.      Pedoman dan metode yang dipakai Nabi Muhammad dalam menjelaskan hukum-hukum Al QUR’AN, dan himpunan hukum-hukum  nash yang telah mendapatkan penjelasan dan sunnah.
Secara umum apabila kaedah-kaedah itu diikuti oleh seorang ahli fiqh, maka ia akan terhindar dari kesalahan dalam istinbath hokum.dengan kedah-kaedah itu pula ia akan mampu menangkaptujuan-tujuan syari’ah yang dipandang sebagai sumber pokok (ashl) yang pertama dan utama.

Kaedah-kaedah bahasa (lughawy) itu mengacu pada empat segi yaitu:
1.      Kepada lafadz- lafadz nash dari segi kekuatan dan kejelasan dalalah-nya terhadap pengertian yang dimaksud.
2.      Segi ungkapan dan konotasinya, apakah menggunakan ibarat yang sharih (ungkapan jelas) atau isyarat yang mengandung makna yang tersirat; dan apakah memakai Ataukah (mahfum).
3.      Segi cakupan lafadz dan sasaran dalalahnya, berupa lafadz umum atau khusus, dan lafadz muqayyad atau mutlaq.
4.      Dari segi bentuk tuntutan(shighat taklif) nya.
Dari segi itu harus dikuasai oleh seorang ahli fiqh agar dapat melakukan istinbat hukum dan terhindar dari kekeliruan.


DAFTAR PUSTAKA


Zahrah, Muhammad Abu. Prof, ushul al fiqih Cairo 19958


[1] Muhammad Bin Ahmad Abu Abdullah al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân (Beirut: Dâr Ihya’ at-Turâts, tt.), Juz XIV, hlm., 187.
[2] Muhammad bin Abi Bakar Abu Abdullah ibn al-Qayyim al-Jauziyah, I’lâm al-Muwaqi’în (Beirut: Maktabah al-’Ashriyyah, 1470), Juz II hlm., 307.
[3] Al-Syafi’i, Al-Risalah, hlm., 21-22.



2 komentar:

  1. dalam pembahasan ini masih banyak yang belum jelas menurut saya ,,karna belum ada dalil2nya serta ayat yang di tuluis dari penulis tentag usul fiqh nya,,tolong informasinya lagi biar lebih jelas

    BalasHapus
  2. dalam pembahasan ini masih banyak yang belum jelas menurut saya ,,karna belum ada dalil2nya serta ayat yang di tuluis dari penulis tentag usul fiqh nya,,tolong informasinya lagi biar lebih jelas

    BalasHapus